Hot News
Ulang Tahun REI
26 Apr06:17:43 PM
Hari Otonomi Daerah 2024
25 Apr06:50:48 PM
Rencana Lokasi PLTS
07 Mar11:06:56 AM
Kunjungan Kerja Ke TTS
01 Mar01:29:29 PM

Warta Biro Barjas

Biro Pengadaan Barang dan Jasa Provinsi NTT

Proporsi beban jumlah pegawai yang ditanggung pemerintah daerah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pusat. Sebanyak 78 persen pegawai ada di daerah sementara 22 persen sisanya berada di pusat. Dengan rasio proporsi pegawai yang berbanding terbalik itu menyebabkan kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan layanan penyelenggaraan kewenangan menjadi sangat lemah dan terbatas. Hasilnya, Standar Pelayanan Minimal (SPM) pemerintah daerah rata-rata hanya mencapai angka 58 persen untuk provinsi dan 59 persen untuk kabupaten/kota. Sebaliknya, Kementerian dengan porsi APBN yang sangat besar ternyata memiliki keterbatasan kemampuan rentang kendali hingga ke daerah, terutama di Daerah Kepulauan dan Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).

Demikian ungkap Ketua DPD RI, A.A. Lanyalla Mahmud Mattalitti saat membawakan sambutan pembuka dalam Sarasehan DPD RI Bersama Calon Presiden 2024 yang memilih tempat di Ruang Pustakaloka-Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (2/2). Turut hadir Penjabat Gubernur NTT Ayodhia G. L. Kalake, SH,MDC dalam kegiatan yang yang mengusung tema ”Menatap Kemajuan Daerah dan Sistem Ketatanegaraan.” 

Tiga problem pokok diajukan Ketua Lembaga Senator itu dalam forum. Dijelaskan Lanyalla bahwa salah-satu persoalan fundamental kita adalah terkait keadilan fiskal dalam konteks hubungan antara Pusat dan Daerah. Seperti diketahui, APBN terdistribusi untuk pemerintah pusat sebesar 64 persen, sedangkan pemerintah daerah hanya sebesar 36 Persen saja.

Persoalan fundamental kedua menurut LaNyalla, adalah ketidakadilan yang dirasakan daerah dan masyarakat daerah terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya di daerah. Dampak outputnya justru memindahkan kantong kemiskinan baru dan memperparah bencana ekologi. Lebih jauh ditegaskan efek dari paradigma pembangunan yang kurang tepat.

“Kami melihat paradigma pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan di Indonesia, bukan membangun Indonesia. Karena tujuan pembangunan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan PDB, maka segala kemudahan diberikan kepada investor asing dan swasta untuk menguasai sumber daya di daerah,” demikian tegas Lanyalla.

Persoalan fundamental ketiga yang merupakan muara dari semua persoalan fundamental tersebut menurut Lanyalla, adalah azas dan sistem bernegara kita yang telah meninggalkan filosofi dasar dan indentitas konstitusi kita. Meninggalkan Pancasila.

“Perubahan isi dari pasal-pasal dalam UUD 1945 yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 silam tersebut, membuat Konstitusi Indonesia justru menjabarkan semangat individualisme dan liberalisme serta ekonomi yang kapitalistik," terangnya.

Untuk itu, pihaknya perlu menguji visi kenegaraan capres terkait dengan putusan Sidang Paripurna DPD RI tanggal 14 Juli 2023 lalu, dimana DPD RI menawarkan kepada Bangsa Indonesia untuk kembali menerapkan sistem rumusan para pendiri bangsa, dengan penyempurnaan dan penguatan. Sehingga tidak terjadi lagi praktik-praktik penyimpangan seperti di era Orde Lama dan Orde Baru.

“Nanti, kita minta pandangan dan kajian dari masing-masing capres terhadap beberapa isu fundamental tersebut. Sehingga kita dapat mengetahui visi mereka terkait hubungan pusat dan daerah, serta ketatanegaraan Indonesia,” tandas Lanyalla dalam acara yang dihadiri pimpinan MPR dan DPR, KPU/Bawaslu, para Gubernur dan Penjabat Gubernur, Ketua Asosisi Pemerintahan Daerah, Raja dan Sultan Nusantara juga pimpinan ormas, akademisi dan organisasi mahasiswa.

Artikel Lainnya :

Biro Pengadaan Barang dan Jasa

ProvinsiN T TNusa Tenggara Timur
Alamat
Sayap Timur Gedung Sasando Lt.2
Jl. El Tari No.52
Kota
Kupang
Nusa Tenggara Timur
Indonesia